Jakarta- beritaindonesia.com -, 24 Agustus 2025 – Di tengah gemerlap kejayaannya di masa lalu, Nauru pernah dijuluki sebagai salah satu negara terkaya di dunia akibat kekayaan fosfat yang luar biasa. Namun sekarang, negara kecil di Samudra Pasifik itu justru terjerumus ke ambang kebangkrutan- dan ironi terbesar adalah kehancuran itu disebabkan bukan hanya karena eksploitasi asing, melainkan juga karena keserakahan pejabatnya sendiri.
Setelah merdeka pada tahun 1968, industri fosfat yang sebelumnya dikuasai Inggris, Australia, dan Selandia Baru akhirnya diambil alih oleh pemerintah Nauru. Sangat mengesankan, pada dekade 1970-an hingga 1980-an, pendapatan per kapita Nauru bahkan melebihi negara-negara kaya minyak di Timur Tengah . Media internasional menyebutnya sebagai "demokrasi independen terkecil dan terkaya di dunia".
Residen dan pejabat Nauru hidup dalam kemewahan yang mencolok- mulai dari pendidikan dan layanan kesehatan gratis, perawatan medis dengan penerbangan ke Australia bila perlu, hingga impor mobil mewah yang tak masuk akal jumlahnya, seperti Lamborghini, Ferrari, Cadillac, bahkan Land Rover, meski pulau itu hanya memiliki satu jalan beraspal dengan batas kecepatan 25 mph.
Sayangnya, kekayaan itu tidak dikelola dengan bijaksana. Nauru mendirikan Nauru Phosphate Royalties Trust, sebuah dana kekayaan negara yang seharusnya menopang ekonomi pasca-fosfat, namun investasi-investasi yang tidak bijaksana malah menjerumuskan negara ini. Salah satunya adalah dana untuk "Leonardo the Musical" (1993), yang berakhir dengan kegagalan total, dan pembelian real‑estat mewah seperti Nauru House di Melbourne yang kemudian disita untuk melunasi utang.
Selain itu, negara ini pernah menjadi surga pajak dan pusat pencucian uang. Di tahun 1998 saja, uang mafia Rusia senilai sekitar US$70 miliar mengalir melalui bank-bank Nauru, hingga AS menuding negara ini sebagai sarang pencucian uang pada 2002.